Selasa, 16 Oktober 2012

Manisnya Sirup Mangrove

Ada yang unik dan inovatif dari aktivitas para aktivis Miyara Sumatera Foundation, organisasi nirlaba yang bergerak untuk konservasi alam, pelestarian budaya, dan pengembangan pariwisata di Sumatera.
LSM ini beberapa waktu lalu berkumpul bersama kelompok perempuan Desa Merak-Belantung, sebuah desa kecil di Kalianda, Lampung Selatan di mana program konservasi mangrove “Mangrove for Life” berada. Siang itu, bersama ibu-ibu yang sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga, para aktivis berkumpul di teras Posyandu. Bukan untuk arisan atau sekedar mengobrol santai, tetapi hendak mencoba resep untuk membuat sirup dari tanaman mangrove.
Sebelumnya, para aktivis telah mengumpulkan buah mangrove. Buah yang akan dijadikan sirup ini adalah dari tanaman mangrove pidada (jenis Sonneratia) yang banyak tumbuh di kawasan hutan mangrove di Merak-Belantung (kawasan Krakatoa Nirwana Resort). Pohon pidada yang berusia cukup dewasa, telah bisa menghasilkan buah dan – kebetulan – sedang memasuki masa berbuah, jadi buah bisa dipanen kala itu.
Ibu Basri, istri Kepala Dusun Lambur membantu para aktivis mengumpulkan ibu-ibu sekitar. Peralatan masak, seperti kompor gas, panci-panci, gelas, dan lainnya merupakan pinjaman dari dapur beberapa ibu di sana. Perlengkapannya sederhana, tapi tidak menyurutkan semangat ibu-ibu untuk berkreasi dan berinovasi.
Ricky, project officer Miyara Sumatera untuk Program “Mangrove for Life,” telah siap dengan beberapa kilogram buah pidada. Sambil mengupas buah pidada bersama, para aktivis menjelaskan mengenai manfaat mangrove bagi kehidupan, baik bagi lingkungan hidup, sosial-budaya, serta ekonomi masyarakat pesisir dan sekitarnya kepada para ibu. Sesekali, canda-tawa terlepas dari kesibukan kami mengupas dan memotong-motong buah.
Di tangan para ibu, percobaan resep sirup mangrove ternyata sama sekali tidak sulit. Setelah isi buah bersih, buah-buah itu kemudian dimasak dengan air hingga mendidih. Perbandingan antara buah dan air adalah sekitar 1 liter air untuk 5 kg buah pidada. Setelah mendidih, buah ditekan-tekan untuk mengeluarkan sarinya. Sari pidada lalu dituangkan ke dalam larutan gula (5 kg gula untuk 1,5 liter air). Aduk-aduk sari pidada bersama larutan gula dalam keadaan mendidih. Untuk menambah rasa dan warna, dapat juga ditambahkan asam sitrun (4 sendok teh) atau vanila dengan daun pandan dan daun suji
Suasana di teras Posyandu kian ramai dan penuh antusias setelah buah pidada akhirnya menjadi sirup.
Tentu saja, para ibu tidak cukup puas dengan hanya mengenal buah mangrove pidada. Sebagian dari mereka sangat ingin untuk ambil bagian dari kegiatan perawatan mangrove, apalagi menyadari bahwa produk turunan dan olahan dari mangrove, bisa juga dimanfaatkan. Seorang ibu berkomentar, “Kapan-kapan kita harus lihat, nih, tanamannya ada di sebelah mana, supaya bisa ikut merawat dan memanen buahnya!”
Sirup mangrove dapat disimpan dalam botol kaca yang bersih (botol dikukus atau direbus terlebih dulu). Tak perlu pengawet. Setelah jadi, para ibu ikut menikmati sirup pidada dan bisa membawanya pulang untuk dinikmati bersama keluarga. Dicampur dengan es atau potongan buah, seperti timun suri, ”Hmmmm..” Rasanya enak. Segar dengan sedikit rasa asam yang sangat khas mangrove.
Ke depan, diharapkan bisa mencoba resep-resep makanan atau minuman lain dari mangrove. Selain menjadi makanan/minuman alternatif yang baik, produk-produk olahan mangrove adalah potensi terhadap keberlangsungan konservasi dan upaya pemberdayaan bagi masyarakat pesisir dan sekitarnya.

Kamis, 11 Oktober 2012

Perburuan Hiu di Surga Indonesia


Perburuan ikan hiu akibat perdagangan siripnya untuk dikonsumsi masih menjadi salah satu masalah utama dalam konservasi satwa saat ini. Masalah perburuan hiu dinilai kompleks, karena melibatkan berbagai dimensi dalam isu lingkungan, baik itu dimensi ekonomi, sosial, budaya hingga konservasi itu sendiri. Upaya menghentikannya pun, bukan sebuah perkara mudah. Selama masih ada pembeli yang mau menerima sirip-sirip ini, maka pasar akan selalu terbuka, dan perburuan masih akan terus terjadi. Butuh sebuah pendekatan yang holistik secara ekonomi politik untuk mengatasinya, tidak cukup hanya menangkap pelaku perburuan, namun juga memperkuat regulasi dan Undang-Undang serta penegakan hukum di lapangan terhadap negara penerimanya. Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam tulisan Mary O’Malley dalamwww.bikyamasr.comyang diterbitkan 5 Oktober 2012 silam.
Dalam tulisan ini dijelaskan, kendati upaya untuk membatasi perdagangan sirip hiu dalam konferensi CITES baru-baru ini gagal, akibat kuatnya desakan kepentingan ekonomi dibanding keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang, namun upaya penegakan peraturan untuk mengatasi perdagangan sirip hiu tidak akan pernah berhenti.
Seperti yang dilakukan oleh lembaga Shark Savers/WildAid  yang mencanangkan kampanye ‘Say No to Shark Fin Soup‘ yang dilancarkan di Cina sebagai konsumen utama sirip hiu dunia, telah berhasil mempengaruhi puluhan juta orang, dan hasilnya ternyata cukup baik. Sekitar 80% orang yang melihat kampanye tersebut, menghentikan atau megurangi konsumsi sirip hiu. Hal yang sama juga dilakukan di berbagai kota besar dunia lainnya, seperti di Hong Kong, Kuala Lumpur, Singapura, Taipei, Vancouver dan lain sebagainya, telah berhasil menciptakan sebuah citra baru bagi konsumen sirip hiu, dari sebuah hidangan yang dianggap bergengsi menjadi sebuah aktivitas kuliner yang memalukan jika dilakukan.
Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Di negara kita, perburuan hiu sudah dimulai sejak era 1970-an, dan Indonesia adalah penyuplai sekitar 14% dari kebutuhan sirip hiu dunia antara tahun 1998 hingga 2002. Terkait dengan meningkatnya pasar bagi sirip hiu untuk dikonsumsi, maka tingkat perburuan ikan hiu di Indonesia juga terus meningkat. Perburuan ikan hiu di Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1000 Metrik ton di tahun 1950, menjadi 117.600 metrik ton di tahun 2003 dengan nilai ekspor mencapai 6000 Dollar AS di tahun 1975 dan membengkak hingga lebih dari10 juta dollar di tahun 1991. Sebagian besar sirip hiu ini dikonsumsi oleh para penikmat kuliner kelas hotel bintang lima dan sebagian restoran yang menyediakan masakan Cina kelas atas.
Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Nilai ekonomi yang tinggi juga dianggap sesuat yang menjanjikan bagi para nelayan. Dalam setiap penangkapan, dari kasus yang diangkat tahun 1989 di desa Karangson do sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti selama dua bulan menyatakan bahwa keuntungan dari penangkapan hiu setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp 160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal, dan dibagi setengahnya kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal dan sepuluh persen untuk setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, drlapan diantaranya justru mengalami kerugian, karena biaya untuk menangkapnya lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun biaya operasional untuk menangkap, dan keuntungannya bagi para nelayan justru terus menurun.
Temuan yang juga menarik adalah, nelayan ternyata tidak mengalami penurunan penghasilan yang signifikan jika tiak menangkap hiu. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, peneliti mencoba mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50% dan meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu. Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal, dan hanya berkurang 3% bagi awak kapalnya.
Dengan adanya temuan ini menjadi jelas, bahwa argumen beberapa delegasi di konferensi CITES yang mengatakan bahwa pelarangan perburuan sirip hiu untuk beberapa negara miskin seperti Indonesia, akan merugikan nelayan menjadi tidak berdasar samasekali. Terbukti, bahwa nelayan tidak mengalami kerugian finansial signifikan jika tidak menangkap hiu.
Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar ikan hiu, serta sejumlah besar restoran di berbagai hotel bintang lima dan restoran-restoran kelas atas di berbagai kota di Indonesia yang bisa menjual sup sirip ikan hiu seharga Rp 950.000 semangkuk,
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Lalu bagaimana menekan perburuan hiu di Indonesia? Belajar dari Raja Ampat, nampaknya ekowisata yang meningkatkan perekonomian lokal bisa menjadi sebuah jawaban. Salah satunya adalah pembentukan Misool Eco Resort  yang dilakukan oleh Andrew, Marit Miners dan Thorben NIemann, yang tidak hanya menjadi tujuan wisata belaka namun juga sebuah model konservasi, keberlanjutan dan keramahan warga lokal. Mereka pun mulai meninggalkan kebiasaan buruk dengan melakukan pemboman ikan, penangapan hiu, karena memiliki sumber pendapatan alternatif yang lebih menguntungkan. Karena lagi-lagi, nelayan tidak pernah diuntungkan dengan kejahatan lingkungan, hanya pihak tertentu yang menikmati tanpa memikirkan keberlangsungan sumber daya alam yang masih tersisa.
Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Nilai ekonomi yang tinggi juga dianggap sesuat yang menjanjikan bagi para nelayan. Dalam setiap penangkapan, dari kasus yang diangkat tahun 1989 di desa Karangson do sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti selama dua bulan menyatakan bahwa keuntungan dari penangkapan hiu setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp 160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal, dan dibagi setengahnya kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal dan sepuluh persen untuk setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, drlapan diantaranya justru mengalami kerugian, karena biaya untuk menangkapnya lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun biaya operasional untuk menangkap, dan keuntungannya bagi para nelayan justru terus menurun.
Temuan yang juga menarik adalah, nelayan ternyata tidak mengalami penurunan penghasilan yang signifikan jika tiak menangkap hiu. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, peneliti mencoba mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50% dan meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu. Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal, dan hanya berkurang 3% bagi awak kapalnya.
Dengan adanya temuan ini menjadi jelas, bahwa argumen beberapa delegasi di konferensi CITES yang mengatakan bahwa pelarangan perburuan sirip hiu untuk beberapa negara miskin seperti Indonesia, akan merugikan nelayan menjadi tidak berdasar samasekali. Terbukti, bahwa nelayan tidak mengalami kerugian finansial signifikan jika tidak menangkap hiu.
Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar ikan hiu, serta sejumlah besar restoran di berbagai hotel bintang lima dan restoran-restoran kelas atas di berbagai kota di Indonesia yang bisa menjual sup sirip ikan hiu seharga Rp 950.000 semangkuk,
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Lalu bagaimana menekan perburuan hiu di Indonesia? Belajar dari Raja Ampat, nampaknya ekowisata yang meningkatkan perekonomian lokal bisa menjadi sebuah jawaban. Salah satunya adalah pembentukan Misool Eco Resort  yang dilakukan oleh Andrew, Marit Miners dan Thorben NIemann, yang tidak hanya menjadi tujuan wisata belaka namun juga sebuah model konservasi, keberlanjutan dan keramahan warga lokal. Mereka pun mulai meninggalkan kebiasaan buruk dengan melakukan pemboman ikan, penangapan hiu, karena memiliki sumber pendapatan alternatif yang lebih menguntungkan. Karena lagi-lagi, nelayan tidak pernah diuntungkan dengan kejahatan lingkungan, hanya pihak tertentu yang menikmati tanpa memikirkan keberlangsungan sumber daya alam yang masih tersisa.
Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Nilai ekonomi yang tinggi juga dianggap sesuat yang menjanjikan bagi para nelayan. Dalam setiap penangkapan, dari kasus yang diangkat tahun 1989 di desa Karangson do sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti selama dua bulan menyatakan bahwa keuntungan dari penangkapan hiu setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp 160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal, dan dibagi setengahnya kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal dan sepuluh persen untuk setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, drlapan diantaranya justru mengalami kerugian, karena biaya untuk menangkapnya lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun biaya operasional untuk menangkap, dan keuntungannya bagi para nelayan justru terus menurun.
Temuan yang juga menarik adalah, nelayan ternyata tidak mengalami penurunan penghasilan yang signifikan jika tiak menangkap hiu. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, peneliti mencoba mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50% dan meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu. Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal, dan hanya berkurang 3% bagi awak kapalnya.
Dengan adanya temuan ini menjadi jelas, bahwa argumen beberapa delegasi di konferensi CITES yang mengatakan bahwa pelarangan perburuan sirip hiu untuk beberapa negara miskin seperti Indonesia, akan merugikan nelayan menjadi tidak berdasar samasekali. Terbukti, bahwa nelayan tidak mengalami kerugian finansial signifikan jika tidak menangkap hiu.
Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar ikan hiu, serta sejumlah besar restoran di berbagai hotel bintang lima dan restoran-restoran kelas atas di berbagai kota di Indonesia yang bisa menjual sup sirip ikan hiu seharga Rp 950.000 semangkuk,
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Lalu bagaimana menekan perburuan hiu di Indonesia? Belajar dari Raja Ampat, nampaknya ekowisata yang meningkatkan perekonomian lokal bisa menjadi sebuah jawaban. Salah satunya adalah pembentukan Misool Eco Resort  yang dilakukan oleh Andrew, Marit Miners dan Thorben NIemann, yang tidak hanya menjadi tujuan wisata belaka namun juga sebuah model konservasi, keberlanjutan dan keramahan warga lokal. Mereka pun mulai meninggalkan kebiasaan buruk dengan melakukan pemboman ikan, penangapan hiu, karena memiliki sumber pendapatan alternatif yang lebih menguntungkan. Karena lagi-lagi, nelayan tidak pernah diuntungkan dengan kejahatan lingkungan, hanya pihak tertentu yang menikmati tanpa memikirkan keberlangsungan sumber daya alam yang masih tersisa.

Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Nilai ekonomi yang tinggi juga dianggap sesuat yang menjanjikan bagi para nelayan. Dalam setiap penangkapan, dari kasus yang diangkat tahun 1989 di desa Karangson do sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti selama dua bulan menyatakan bahwa keuntungan dari penangkapan hiu setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp 160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal, dan dibagi setengahnya kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal dan sepuluh persen untuk setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, drlapan diantaranya justru mengalami kerugian, karena biaya untuk menangkapnya lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun biaya operasional untuk menangkap, dan keuntungannya bagi para nelayan justru terus menurun.
Temuan yang juga menarik adalah, nelayan ternyata tidak mengalami penurunan penghasilan yang signifikan jika tiak menangkap hiu. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, peneliti mencoba mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50% dan meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu. Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal, dan hanya berkurang 3% bagi awak kapalnya.
Dengan adanya temuan ini menjadi jelas, bahwa argumen beberapa delegasi di konferensi CITES yang mengatakan bahwa pelarangan perburuan sirip hiu untuk beberapa negara miskin seperti Indonesia, akan merugikan nelayan menjadi tidak berdasar samasekali. Terbukti, bahwa nelayan tidak mengalami kerugian finansial signifikan jika tidak menangkap hiu.
Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar ikan hiu, serta sejumlah besar restoran di berbagai hotel bintang lima dan restoran-restoran kelas atas di berbagai kota di Indonesia yang bisa menjual sup sirip ikan hiu seharga Rp 950.000 semangkuk,
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Lalu bagaimana menekan perburuan hiu di Indonesia? Belajar dari Raja Ampat, nampaknya ekowisata yang meningkatkan perekonomian lokal bisa menjadi sebuah jawaban. Salah satunya adalah pembentukan Misool Eco Resort  yang dilakukan oleh Andrew, Marit Miners dan Thorben NIemann, yang tidak hanya menjadi tujuan wisata belaka namun juga sebuah model konservasi, keberlanjutan dan keramahan warga lokal. Mereka pun mulai meninggalkan kebiasaan buruk dengan melakukan pemboman ikan, penangapan hiu, karena memiliki sumber pendapatan alternatif yang lebih menguntungkan. Karena lagi-lagi, nelayan tidak pernah diuntungkan dengan kejahatan lingkungan, hanya pihak tertentu yang menikmati tanpa memikirkan keberlangsungan sumber daya alam yang masih tersisa.

Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Nilai ekonomi yang tinggi juga dianggap sesuat yang menjanjikan bagi para nelayan. Dalam setiap penangkapan, dari kasus yang diangkat tahun 1989 di desa Karangson do sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti selama dua bulan menyatakan bahwa keuntungan dari penangkapan hiu setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp 160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal, dan dibagi setengahnya kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal dan sepuluh persen untuk setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, drlapan diantaranya justru mengalami kerugian, karena biaya untuk menangkapnya lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun biaya operasional untuk menangkap, dan keuntungannya bagi para nelayan justru terus menurun.
Temuan yang juga menarik adalah, nelayan ternyata tidak mengalami penurunan penghasilan yang signifikan jika tiak menangkap hiu. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, peneliti mencoba mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50% dan meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu. Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal, dan hanya berkurang 3% bagi awak kapalnya.
Dengan adanya temuan ini menjadi jelas, bahwa argumen beberapa delegasi di konferensi CITES yang mengatakan bahwa pelarangan perburuan sirip hiu untuk beberapa negara miskin seperti Indonesia, akan merugikan nelayan menjadi tidak berdasar samasekali. Terbukti, bahwa nelayan tidak mengalami kerugian finansial signifikan jika tidak menangkap hiu.
Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar ikan hiu, serta sejumlah besar restoran di berbagai hotel bintang lima dan restoran-restoran kelas atas di berbagai kota di Indonesia yang bisa menjual sup sirip ikan hiu seharga Rp 950.000 semangkuk,
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Lalu bagaimana menekan perburuan hiu di Indonesia? Belajar dari Raja Ampat, nampaknya ekowisata yang meningkatkan perekonomian lokal bisa menjadi sebuah jawaban. Salah satunya adalah pembentukan Misool Eco Resort  yang dilakukan oleh Andrew, Marit Miners dan Thorben NIemann, yang tidak hanya menjadi tujuan wisata belaka namun juga sebuah model konservasi, keberlanjutan dan keramahan warga lokal. Mereka pun mulai meninggalkan kebiasaan buruk dengan melakukan pemboman ikan, penangapan hiu, karena memiliki sumber pendapatan alternatif yang lebih menguntungkan. Karena lagi-lagi, nelayan tidak pernah diuntungkan dengan kejahatan lingkungan, hanya pihak tertentu yang menikmati tanpa memikirkan keberlangsungan sumber daya alam yang masih tersisa.


Sumber :http://www.mongabay.co.id/2012/10/06/indonesia-surga-kawasan-legal-bagi-perburuan-sirip-hiu/#ixzz291jq5Rog

Sabtu, 09 Juni 2012

Chauliodus danae The Viperfish

Kingdom :  Animalia
Phylum : Chordata
Class : Actinopterygii
Order : Stomiiformes
Family : Stomiidae
Genus : Chauliodus
Species : Chauliodus danae

Viperfish adalah salah satu ikan paling tidak biasa yang menghuni di laut dalam. Mereka juga salah satu spesies paling populer dan terkenal. Salah satu dari mereka dikenal secara ilmiah dengan nama Chauliodus sloani, yaitu salah satu predator paling mengerikan dari perairan laut dalam. Ikan ini dapat dengan mudah dikenali karena mulut yang besar dan tajam, gigi mirip taring. Bahkan, taring begitu besarnya hingga tidak muat masuk seluruhnya ke dalam mulut. Viperfish diperkirakan menggunakan gigi tajam untuk menusuk korbannya dengan berenang ke arah mereka menggunakan kecepatan tinggi. Tulang belakang, tepat di belakang kepala, sebenarnya dirancang untuk berfungsi sebagai shock absorber. Makhluk mencari menakutkan memiliki tulang dorsal panjang yang berujung dengan photophore, organ penghasil cahaya. Viperfish menggunakan organ ini cahaya untuk menarik mangsanya melalui proses yang dikenal sebagai bioluminescence. Dengan berkedip menyala dan mematikan lampu dapat digunakan seperti memancing ikan atau menarik ikan lebih kecil.

Kamis, 24 Mei 2012

Goblog nya blog gue

Sama sekali gue ga tau ni kedepannya blog bkal maju kagak, gue aja bingung mo ngisi apaan, mo ngisi soal diary gue, gue jarang OL (ya nasip), mo ngisi foto2 ntar gue bakal di kira jablay (please dweh), mo gue isi bahasa ngapak juga paling yang tau dikit... ya Allah berikan petunyuk Mu...
Akhirnya untuk kedepannya Blog super duper goblog ini ga punya masa depan... (ya elah...). So enjoy dalam kegilaan, ke goblog an gue dalam BlogGoBlog gue yang gue lairin tanpa mengandung 9 bulan.